PROSES MASUKNYA ISLAM DI INDONESIA
Menurut Suryanegara bahwa ada beberapa teori yang membahas
terkait awal mula masuknya Islam di Indonesia. Teori-teori ini mencoba
memberikan jawaban atas permasalahan tentang masuknya agama Islam ke Nusantara
dengan perbedaan pendapatnya: Pertama, mengenai waktu
masuknya agama Islam. Kedua, tentang asal negara yang menjadi perantara atau sumber
tempat pengambilan ajaran agama Islam. Ketiga, tentang pelaku
penyebar atau pembawa agama Islam ke Nusantara.
Berikut
akan dipaparkan terkait teori masuknya Islam di Indonesia, diantaranya sebagai
berikut:
Pertama, teori
Gujarat. Menurut Suryanegara (1996: 75) bahwa peletak dasar teori ini
kemungkinan adalah Snouck Hurgronje dalam bukunya “L’ Arabie et les Indes Neerlandaises,
atau Revue de I’Histoire des
Religious.” Snouck Hurgronje lebih menitikberatkan pandangannya ke Gujarat
berdasarkan: Pertama,
kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama
Islam ke Nusantara. Kedua,
hubungan dagang Indonesia-India telah lama terjalin. Ketiga, inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra
memberikan gambaran hubungan antara Sumatra dengan Gujarat.
Suryanegara
(1996: 75-76) mengutip pendapat W.F. Stutterheim dalam bukunya “De Islam en Zijn Komst In de Archipel” yang
menyatakan bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke 13. Pendapatnya juga
di dasarkan pada bukti batu nisan Sultan pertama dari Kerajaan Samudera Pasai,
yakni Malik As-Saleh yang wafat pada 1297. Selanjutnya ditambahkan tentang asal
negara yang mempengaruhi masuknya agama Islam ke Nusantara adalah Gujarat.
Dengan alasan bahwa agama Islam disebarkan melalui jalan dagang antara
Indonesia-Cambay (Gujarat)- Timur Tengah-Eropa. Sama halnya dengan pendapat
W.F. Stutterheim, Snouck Hurgronje berpendapat pula bahwa awal masuknya Islam
ke Indonesia pada abad ke 13 M dari Gujarat.
Kedua, teori
Makkah. Menurut Hamka sebagaimana dikutip oleh Sunanto (2012: 8-9) dalam
bukunya bahwa Islam sudah datang ke Indonesia pada abad pertama Hijriyah
(kurang lebih abad ke-7 sampai 8 M) langsung dari Arab dengan bukti jalur
pelayaran yang ramai dan bersifat internasional sudah dimulia jauh sebelum abad
ke-13 (yaitu sudah ada sejak abad ke-7 M) melalui selat Malaka yang
menghubungkan Dinasi Tang di Cina (Asia Timur), Sriwijaya di Asia Tenggara dan
Bani Umayyah di Asia Barat. Senada dengan Suryanegara dalam Api Sejarah (2012:
99) sebagaimana mengutip pendapat Hamka bahwa masuknya Islam ke Nusantara
Indonesia terjadi pada abad ke-7 M. Dalam berita Cina Dinasti Tang menuturkan ditemuinya daerah hunian wirausahawan
Arab Islam di pantai Barat Sumatera maka dapat disimpulkan Islam masuk dari
daerah asalnya Arab. Dibawa oleh wiraniagawan Arab. Sedangkan kesultanan
Samudera Pasai yang didirikan pada 1275 M atau abad ke-13 M, bukan awal
masuknya agama Islam, melainkan perkembangan agama Islam.
Menurut
Matta (2014: 34) dalam bukunya “gelombang
ketiga Indonesia” mengatakan bahwa para ahli sejarah mencatat ada dua gelombang
masuknya Islam di Nusantara, yaitu abad ke-7 dan abad ke-13. Agama ini di bawah
oleh pedagang dari Arab yang menetap di kota-kota pelabuhan Nusantara. Pada
abad ke-8 telah berdiri perkampungan muslim di pesisir Sumatera. Pada awalnya,
Sumatera (dan Nusantara pada umumnya) hanyalah persinggahan para pedagang Arab
menuju Tiongkok dan Jawa. Pada abad ke-13, Samudera Pasai menjadi kerajaan
Islam pertama di Nusantara, disusul berdirinya kerajaan Demak pada abad ke-15.
Awalnya, Raden Fatah adalah wakil kerajaan Majapahit di daerah itu yang
kemudian dia memutuskan masuk Islam dan mendirikan kerajaan sendiri.
J.C. Van
Leur dalam bukunya “Indonesia: Trade and
Society” menyatakan bahwa pada 674 M di pantai Barat Sumatera telah
terdapat perkampungan (Koloni) Arab Islam. Dengan pertimbangan bangsa Arab
telah mendirikan perkampungan perdagangannya di Kanton pada abad ke-4.
Perkampungan perdagangan ini mulai dibicarakan lagi pada 618 M dan 626 M.
Tahun-tahun berikutnya perkembangan perkampungan perdagangan ini mulai
mempraktikan ajaran agama Islam. Hal ini mempengaruhi pula perkampungan Arab yang
terdapat di sepanjang jalan perdagangan Asia Tenggara. Dari keterangan J.C. Van
Leur ini masuknya Islam ke Nusantara tidaklah terjadi pada abad ke-13,
melainkan telah terjadi sejak abad ke-7. Sedangkan abad ke-13 merupakan saat
perkembangan Islam (Suryanegara, 1996: 76).
Sejumlah
ahli Indonesia dan beberapa ahli Malaysia mendukung “teori Arab” dan mazhab
tersebut. Dalam seminar-seminar tentang kedatangan Islam ke Indonesia yang
diadakan pada 1963 dan 1978, disimpulkan bahwa Islam yang datang ke Indonesia
langsung dari Arab, bukan dari India. Islam datang pertama kali datang ke
Indonesia pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 Masehi, bukan abad ke-12
atau ke-13 M. (Huda, 2007: 36).
Ketiga, Teori
Persia. Menurut Suryanegara (1996: 90) bahwa pembangunan teori Persia ini
di Indonesia adalah P.A. Hoesein Djajadiningrat. Fokus pandangan teori ini
tentang masuknya agama Islam ke Nusantara berbeda dengan teori Gujarat dan
Makkah, sekalipun mempunyai kesamaan masalah Gujaratnya, serta Mazhab
Syafi’inya. Teori Persia lebih menitikberatkan tinjauannya kepada kebudayaan
yang hidup di kalangan masyarakat Islam Indonesia yang dirasakan mempunyai
persamaan dengan Persia.
Menurut
Suryanegara kesamaan kebudayaan ini dapat dilihat pada masyarakat Islam
Indonesia antara lain:
Pertama, peringatan 10 Muharram atau Asyura sebagai hari peringatan
Syi’ah atas kematian syahidnya Husain. Peringatan ini berbentuk pembuatan bubur
Syura. Di Minangkabau bulan Muharram disebut bulan Hasan-Husain. Di Sumatera
tengah sebelah Barat, disebut bulan Tabut, dan diperingati dengan mengarak
keranda Husain untuk dilemparkan ke sungai atau ke dalam perairan lainnya.
Keranda tersebut disebut tabut diambil
dari bahasa Arab (Suryanegara, 1996: 90).
Kedua, adanya kesamaan ajaran antara Syaikh Siti Jenar dengan ajaran
Sufi Iran Al-Hallaj, sekalipun Al-Hallaj telah meninggal pada 310 H/ 922 M,
tetapi ajarannya berkembang terus dalam bentuk puisi, sehingga memungkinkan
Syaikh Siti Jenar yang hidup pada abad ke-16 dapat mempelajarinya (Suryanegara,
1996: 90).
Ketiga, penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab,
untuk tanda-tanda bunyi harakat dalam pengajian Al-Qur’an tingkat awal:
Bahasa Iran
|
Bahasa Arab
|
Jabar- Zabar
|
Fathah
|
Jer- Ze-er
|
Kasrah
|
P’es- Py’es
|
Dhammah
|
Keempat, nisan pada makam Malik Saleh (1297) dan makam Malik Ibrahim (1419) di Gresik dipesan dari Gujarat. Dalam hal ini, teori Persia mempunyai kesamaan mutlak dengan teori Gujarat (Suryanegara, 1996: 91).
Kelima, pengakuan umat Islam Indonesia terhadap Mazhab Syafi’i sebagai
mazhab yang paling utama di daerah Malabar. Dalam masalah mazhab Syafi’i,
Hoesein Djajadiningrat mempunyai kesamaan dengan G.E. Morrison, tetapi berbeda
dengan teori Makkah yang dikemukakan oleh Hamka di depan Hoesein Djajadiningrat
di satu pihak melihat salah satu budaya Islam di Indonesia kemudian dikaitkan
dengan kebudayaan Persia, tetapi dalam memandang Mazhab Syafi’i terhenti ke
Malabar, tidak berlanjut dihubungkan dengan pusat mazhab Syafi’i di Makkah
(Suryanegara, 1996: 91).
Sunanto
(2012: 10-12) menyebutkan beberapa saluran-saluran yang menjadi media
tersebarnya Islam di Indonesia, di antaranya sebagai berikut:
1. Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran.
2. Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para
pedagang. Para mubaligh itu bisa jadi juga para sufi pengembara.
3. Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang Muslim, mubaligh
dengan anak bangsawan Indonesia. Hal ini akan mempercepat terbentuknya inti
sosial, yaitu keluarga Muslim dan masyarakat Muslim. Dengan perkawinan itu
secara tidak langsung orang muslim tersebut status sosialnya dipertinggi dengan
sifat kharisma kebangsawanan. Lebih-lebih apabila pedagang besar kawin dengan
putri raja, maka keturunannya akan menjadi pejabat birokrasi, putra mahkota
kerajaan, syahbandar, qadi, dan lain-lain.
4. Pendidikan, setelah kedudukan para pedagang mantap, mereka
menguasai kekuatan ekonomi di bandar-bandar seperti Gresik. Pusat-pusat
perekonomian itu berkembang menjadi pusat-pusat pendidikan dan penyebaran
Islam. Pusat-pusat pendidikan dan da’wah Islam di kerajaan Samudera Pasai
berperan sebagai pusat dakwah pertama yang didatangi pelajar-pelajar dan
mengirim mubaligh lokal, di antaranya mengirim Maulana Malik Ibrahim ke Jawa.
Selain menjadi pusat-pusat pendidikan, yang disebut pesantren, di Jawa juga
merupakan markas penggemblengan kader-kader politik. Misalnya, Raden Fatah,
Raja Islam pertama Demak, adalah santri pesantren Ampel Denta; Sunan Gunung Jati,
Sultan Cirebon pertama adalah didikan pesantren Gunung Jati dengan Syaikh Dzatu
Kahfi; Maulana Hasanudiidn yang diasuh ayahnya Sunan Gunung Jati yang kelak
menjadi Sunan Banten pertama.
5. Tasawuf dan tarekat. Sudah diterangkan bahwa bersamaan dengan pedagang,
datang pula para ulama, da’i, dan sufi pengembara. Para ulama atau sufi itu ada
yang kemudian diangkat menjadi penasihat dan atau pejabat agama di kerajaan. Di
Aceh ada Syaikh Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, Abdul
Rauf Singkel. Demikian juga kerajaan-kerajaan di Jawa mempunyai penasihat yang
bergelar wali, yang terkenal adalah Wali Songo.
6. Saluran yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama
di Jawa adalah seni. Wali Songo, terutama Sunan Kali Jaga, mempergunakan banyak
cabang seni untuk Islamisasi, seni arsitektur, gamelan, wayang, nyayian, dan
seni busana.
Menurut
Huda (2007: 39) dengan beberapa perbedaan tentang Islamisasi tersebut, haruslah
diupayakan sintesis dari beberapa pendapat yang ada. Di antara upaya itu adalah
dengan membuat fase-fase atau tahapan tentang Islamisasi di Indonesia, seperti
tahap permulaan kedatangan yang terjadi pada abad ke-7 M. Adapun pada abad
ke-13 M, dipandang sebagai proses penyebaran dan terbentuknya masyarakat Islam
di Nusantara. Para pembawa Islam pada abad ke-7 sampai abad ke-13 tersebut
adalah orang-orang Muslim Arab, Persia dan India (Gujarat, Bengal). Hal serupa
juga dilakukan oleh Uka Tjandrasasmita yang mengatakan bahwa sebelum abad ke-13
merupakan tahap proses Islamisasi. Abad ke-13 itu sendiri dipandang sebagai
masa pertumbuhan Islam sebagai kerajaan bercorak Islam yang pertama di
Indonesia.
—
Daftra Pustaka
Huda, N.
(2007). Islam Nusantara; Sejarah
Sosial Intelektual Islam Di Indonesia. (A. Q. Shaleh, Ed.)
Jogjakarta: Ar-Ruzz Media Group.
Matta, A.
(2014). Gelombang Ketiga Indonesia. (D.
Krismatono, Ed.) Jakarta: The Future Institute.
Sunanto,
M. (2012). Sejarah Peradaban
Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Suryanegara,
A. M. (1996). Menemukan Sejarah Wacana
Pergerakan Islam Di Indonesia. (R. T. Hidayat, Ed.)
Bandung: Mizan.
Suryanegara, A. M. (2012). Api Sejarah (Vol. 1). (A.
Sahidin, Ed.) Bandung: Salamadani.
0 komentar:
Post a Comment